Jumat, 27 Juni 2014

HIPERBILIRUBINEMIA



ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA


1 PENDAHULUAN
Sebelum membahas hiperbilirubinemia, maka perlu diketahui dulu tentang ikterus pada bayi. Karena itu merupakan salah satu tanda hiperbilirubinemia yang dapat diketahui oleh seorang perawat sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan.
Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik.
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan.
Perawatan Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.
Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah. Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan asuhan keperawatan secara paripurna.
Tulisan ilmiah ini bertujuan untuk :
1.1    Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan bayi ikterus (hiperilirubinemia).
1.2    Agar perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses perawatan selama di rumah sakit dan perawatan lanjutan di rumah. Atas dasar hal tersebut diatas maka penulis menyusun tulisan ilmiah dengan judul ”Asuhan Keperawatan Pada Anak/Bayi Dengan Hiperbilirubinemia”.

 2 KONSEP DASAR TEORI
2.1         Definisi
2.1.1   Hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi (kadar) bilirubin tak terkonjugasi yang ditunjukkan dengan ikterus pada minggu pertama kelahiran.
2.1.2   Ikterus adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
2.1.3   Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
1)   Timbul pada hari kedua - ketiga.
2)   Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3)   Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
4)   Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5)   Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6)   Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
1)   Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2)   Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3)   Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4)   Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5)   Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2.1.4   Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
2.1.5   Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.

2.2         Jenin Bilirubin
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
2.2.1  Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2.2.2  Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.

2.3         Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan enzim glukoronil transferase yang memadai sehingga serum bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.


2.4         Etiologi
2.4.1 Peningkatan produksi :
1) Hemolisis, misal pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
2)   Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
3)  Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis.
4)   Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase).
5) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
6)  Kurangnya enzim glukoronil transeferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR.
7)   Kelainan congenital (rotor sindrome) dan dubin hiperbilirubinemia.
2.4.2 Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiasine.
2.4.3   Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti infeksi , toksoplasmosis, siphilis.
2.4.4   Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.
2.4.5   Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
Beberapa penyebab hiperbilirubin pada BBL adalah :
2.4.1   Faktor fisiologik/prematuritas.
2.4.2   Berhubungan dengan ASI.
2.4.3   Meningkatnya produksi bilirubin/hemolitik.
2.4.4  Ketidakmampuan hepar liver untuk mensekresi bilirubin conjugata/ deficiensi ensim dan obstruksi duktus biliaris.
2.4.5   Campuran antara meningkatnya produksi dan menurunnya ekskresi / sepsis.
2.4.6   Adanya penyulit/hipothiroidism, galaktosemia, bayi dengan ibu DM.
2.4.7   Predisposisi genetik untuk meningkatkan produksi.
Penyebab ikterus pada BBL dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa factor:
2.4.1   Produksi yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase), piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2.4.2   Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
2.4.3   Gangguan transportasi.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
2.4.4   Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.5         Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia (AH Markum, 1991).
Menurut dr. Aty Firsiyanti, Sp.,A patofisiologi dari hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut :
2.5.1        Produksi bilirubin meningkat : sel darah merah ↑, umur sel darah merah ↓, pemecahan sel darah merah ↑.
2.5.2        Penurunan konjugasi bilirubin : prematuritas.
2.5.3        Peningkatan reabsorbsi dalam saluran cerna : asfiksia, obstruksi saluran cerna.
2.5.4        Kegagalan ekskresi cairan empedu : infeksi, sepsis, kolestasis, hepatitis, fibrosis kistik.

2.6         Manifestasi Klinis
2.6.1   Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek).
2.6.2   Kulit, mukosa, dan konjungtiva berwarna kuning.
2.6.3   Anemia.
2.6.4   Petekie.
2.6.5   Perbesaran lien dan hepar.
2.6.6   Perdarahan tertutup.
2.6.7   Gangguan nafas.
2.6.8   Gangguan sirkulasi.
2.6.9   Gangguan saraf
2.6.10         Letargi (bayi sulit dibangunkan).
2.6.11         Demam (suhu > 37°).
2.6.12         Muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2x).
2.6.13         Diare (lebih dari 3x).
2.6.14         Tidak ada nafsu makan.
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
2.6.1   Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2.6.2   Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

2.7         Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain :
2.7.1   Bayi tidak mau menghisap,
2.7.2   Letargi,
2.7.3   Mata berputar-putar,
2.7.4   Gerakan tidak menentu (involuntary movements),
2.7.5   Kejang tonus otot meninggi,
2.7.6   Leher kaku, dan akhirnya
2.7.7   Opistotonus.

2.8         Pemeriksaan Penunjang
Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
2.8.1   Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat kelahiran.
2.8.2   Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali pusat pada setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan.
2.8.3   Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam pertama kelahiran.
2.8.4   Pemeriksaan laboratorium : bilirubin, golongan darah ibu anak, darah rutin, Coomb test, kadar  enzim G6PD.
2.8.5   Pemeriksaan USG abdomen.

2.9         Pemeriksaan Ikterus Menurut Kramer
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh BBL dalam 5 bagian bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, tulang lutut dan lain-lain.



2.10     Penggolongan Hiperbilirubinemia Berdasarkan Saat Terjadi Ikterus
2.10.1    Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
1)   Penyebab ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
a)    Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
b)   Infeksi intra uterin (virus, toksoplasma, siphilis dan kadang-kadang bakteri).
c)    Kadang-kadang oleh defisiensi enzim G6PD.
2)   Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a)    Kadar bilirubin serum berkala.
b)   Darah tepi lengkap.
c)    Golongan darah ibu dan bayi.
d)   Test coombs.
e)    Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
2.10.2    Ikterus yang timbul 24 – 72 jam sesudah lahir.
1)   Biasanya ikterus fisiologis :
a)   Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
b)   Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
c)    Polisetimia.
d)  Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis, pendarahan hepar, sub kapsula dan lain-lain).
2)   Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a)    Pemeriksaan darah tepi.
b)   Pemeriksaan darah bilirubin berkala.
c)    Pemeriksaan skrining enzim G6PD.
d)   Pemeriksaan lain bila perlu.
2.10.3    Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama :
1)   Sepsis.
2)   Dehidrasi dan asidosis.
3)   Defisiensi enzim G6PD.
4)   Pengaruh obat-obat.
5)   Sindroma criggler-najjar, sindroma gilbert.
2.10.4    Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya :
1)   Karena ikterus obstruktif.
2)   Hipotiroidisme.
3)   Breast milk jaundice.
4)   Infeksi.
5)   Hepatitis neonatal.
6)   Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan :
1)   Pemeriksaan bilirubin berkala.
2)   Pemeriksaan darah tepi.
3)   Skrining enzim G6PD.
4)   Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.

2.11     Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan antara lain :
2.11.1    Menghilangkan anemia.
2.11.2    Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi.
2.11.3    Meningkatkan badan serum albumin.
2.11.4    Menurunkan serum bilirubin.

2.12     Metode Therapi
2.12.1    Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi biliar bilirubin tak terkonjugasi.
Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan dikirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan diekskresi ke dalam deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati (avery dan taeusch 1984).
Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia. Secara umum fototherapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4 - 5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di fototherapi dengan konsentrasi bilirubun 5 mg/dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan fototherapi propilaksis pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan BBLR.
2.12.2    Tranfusi Pengganti.
Transfuse pengganti atau imediat diindikasikan adanya faktor-faktor sebagai berikut :
1)   Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2)   Penyakit hemolisis berat pada BBL.
3)   Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4)   Tes coombs positif.
5)   Kadar bilirubin direk lebih besar 3,5 mg/dl pada minggu pertama.
6)   Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama.
7)   Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
8)   Bayi dengan hidrops saat lahir.
9)   Bayi pada resiko terjadi kern ikterus.
Transfusi pengganti digunakan untuk :
1)   Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap antibodi maternal.
2)   Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan).
3)   Menghilangkan serum bilirubin.
4)   Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan bilirubin.
Pada Rh inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. Setiap 4 – 8 jam kadar bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

2.12.3    Therapi Obat.
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.

2.13     Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis dan gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.

3 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1         Pengkajian
3.1.1   Riwayat penyakit : perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak dengan penderita sakit kuning, adakah riwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah.
3.1.2   Riwayat penyakit orang tua :  ditemukan adanya riwayat gangguan hemolisi darah (ketidaksesuaian golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, incompabilitas, polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi menetap pada saluran pencernaan dan ASI, dan ibu menderita DM.
3.1.3   Riwayat psikososial : dampak sakit pada anak, hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, merasa bonding, perpisahan dengan anak.
3.1.4   Riwayat pengetahuan keluarga dan pasien : penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki pengetahuan yang sama meliputi ; tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988).
3.1.5   Pemeriksaan fisik : pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati (tentang ukuran tepi dan permukaan), ditemukan adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu dan masa abdominal, selaput lender, kulit berwarna merah tua, kuning, pucat, urine pekat warna teh, pallor konvulsi, letargi, tangisan dengan nada tinggi (melengking), iritabilitas, penurunan kekuatan otot (hipotonia), penurunan refleks menghisap, gatal, tremor, dan convulsio (kejang perut).
3.1.6   Laboratorium : pada bayi dengan hiperbilirubinemia pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya Rh darah ibu dan janin berlainan, kadar bilirubin bayi aterm lebih dari 12,5 mg/dl, premature lebih dari 15 mg/dl, dan dilakukan tes comb.
3.1.7   Pemeriksaan psikologis : efek dari sakit bayi yaitu diantaranya ;  gelisah, tidak/sulit kooperatif dan merasa asing.

3.2         Diagnosa, Tujuan & Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
3.2.1   Diagnosa keperawatan : kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
1)   Tujuan : cairan tubuh neonatus adekuat.
2)   Intervensi : catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.
3.2.2   Diagnosa keperawatan : gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi.
1)   Tujuan : kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan.
2)   Intervensi : beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5° – 37°, cek TTV tiap 2 jam.
3.2.3   Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare.
1)   Tujuan : keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan.
2)   Intervensi : kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek, rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
3.2.4   Diagnosa keperawatan : gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan.
1)   Tujuan : orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment”, orang tua dapat mengekspresikan ketidakmengertian proses Bounding.
2)   Intervensi : bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orang  tua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
3.2.5   Diagnosa keperawatan : kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
1)   Tujuan : orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan.
2)   Intervensi : kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
3.2.6   Diagnosa keperawatan : potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi.
1)   Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi.
2)   Intervensi : tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya, usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir, matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam, buka penutup mata setiap akan disusukan, ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
3.2.7   Diagnosa keperawatan : potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar.
1)   Tujuan : tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi.
2)   Intervensi : ccatat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan, basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar, pantau TTV selama dan sesudah tranfusi, siapkan suction bila diperlukan, amati adanya ganguan cairan dan elektrolit, apneu, bradikardi, kejang, monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.

3.3         Evaluasi
3.3.1   Tidak terjadi kernikterus pada neonates.
3.3.2   TTV bayi stabil dalam batas normal.
3.3.3   Keseimbangan cairan dan elektrolit bayi terpelihara.
3.3.4   Integritas kulit baik/utuh.
3.3.5   Bayi menunjukkan partisipasi terhadap rangsangan visual.
3.3.6   Terjalin interaksi bayi dan orang tua.

3.4         Aplikasi Discharge Planing
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di rumah sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley & wong, 1994) :
3.4.1 Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
3.4.2 Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3.4.3   Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
3.4.4 Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
3.4.5   Mengajarkan tentang perawatan kulit :
1)   Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
2)  Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
3)  Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
4)   Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
5)   Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan.
6)  Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan.
7) Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
8) Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit dan CRT.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
3.4.1   Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 - 38°).
3.4.2   Perawatan tali pusat/umbilicus.
3.4.3   Mengganti popok dan pakaian bayi.
3.4.4   Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru.
3.4.5   Temperatur / suhu.
3.4.6   Pernapasan.
3.4.7   Cara menyusui.
3.4.8   Eliminasi.
3.4.9   Perawatan sirkumsisi.
3.4.10    Imunisasi.
3.4.11    Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
1)   Letargi (bayi sulit dibangunkan).
2)   Demam (suhu > 37°).
3)   Muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2x).
4)   Diare (lebih dari 3x).
5)   Tidak ada nafsu makan.
3.4.12    Keamanan
1)  Mencegah bayi dari trauma seperti ; kejatuhan benda tajam (pisau atau gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi/balita.
2)   Mencegah benda panas, listrik dan sebagainya.
3) Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
4)   Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.



DAFTAR PUSTAKA
Bobak and Jansen (1984), Etential of Nursing. St. Louis : The CV Mosby Company.
Bobak, J. (1985). Materity and Gynecologic Care. Precenton.
Cloherty, P. John (1981). Manual of Neonatal Care. USA.
Harper. (1994). Biokimia. Jakarta : EGC.
Hawkins, J.W. and Gorsine, B. (1985). Post Partum Nursing. New York : Springen.
Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. Toronto : The Mosby Compani CV.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. Jakarta : FKUI.
Mayers, M. et. al. (1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. New York : Mc.Graw-Hill, Inc.
Nelson J.P. and May, K.A. (1986). Comprehensive Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Pritchard, J. A. et. al. (1991). Obstetri Williams. Edisi XVII. Surabaya : Airlangga University Press.
Riyawan.com | Kumpulan Artikel & Materi Keperawatan Farmasi
Reeder, S.J. et al. (1983). Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Susan, R. J. et. al. (1988). Child Health Nursing. California.



CONTOH SOAL
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

1.        Komplikasi pada bayi dengan hiperbilirubinemia yaitu terjadinya kern ikterus. Jika sampai terjadi kern ikterus, bayi akan mengalami gejala klinis pada permulaan yang tidak jelas seperti dibawah ini, kecuali ?
       a.         Mata berputar-putar.
       b.        Reflex menghisap bayi sangat kuat.
       c.         Involuntary movements.
       d.        Kejang tonus otot meninggi.
       e.         Leher kaku.
Jawaban : B

2.    Dibawah ini merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi dengan hiperbilirubinemia, kecuali ?
       a.         Kadar bilirubin serum total.
       b.        Golongan darah ibu dan bayi.
       c.         MRI.
       d.        Kadar enzim G6PD.
       e.         USG abdomen.
Jawaban : C

3. Daerah ikterus manakah dengan perkiraan kadar bilirubin yang tepat pada derajat ikterus IV ?
    a. Kepala & leher dengan 5,0 mg/dl.
    b.Sampai badan atas (di atas umbilikus) dengan 9,0 mg/dl.
   c. Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut) dengan 11,4 mg/dl.
   d.  Sampai lengan, tungkai bawah lutut dengan 12,4 mg/dl.
Jawaban : D (4 saja)
4.   Penatalaksanaan medis pada bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan tersebut mempunyai tujuan diantaranya ?
      a.       Menghilangkan anemia.
      b.       Menghilangkan antibody maternal & eritrosit teresensitiasi.
      c.       Meningkatkan badan serum albumin.
      d.       Menurunkan serum bilirubin.
      e.       Semua Benar
Jawaban : E (1, 2, 3 & 4 / benar semua)


0 comments:

Posting Komentar