ASUHAN KEPERAWATAN PADA
BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA
1 PENDAHULUAN
Sebelum
membahas hiperbilirubinemia, maka perlu diketahui dulu tentang ikterus pada
bayi. Karena itu merupakan salah satu tanda hiperbilirubinemia yang dapat
diketahui oleh seorang perawat sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.
Ikterus
terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan
bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80%
bayi kurang bulan.
Di
Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan
bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses
hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu
serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik.
Dalam
keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar
akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL).
Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50% pada bayi cukup
bulan dan 75% pada bayi kurang bulan.
Perawatan
Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu
tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti
pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi
pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.
Asuhan keperawatan
pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga
harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara
merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah. Perawat
sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan
asuhan keperawatan secara paripurna.
Tulisan ilmiah
ini bertujuan untuk :
1.1
Agar perawat memiliki
intelektual dan mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan terutama yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan bayi ikterus
(hiperilirubinemia).
1.2
Agar perawat mampu
mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses perawatan selama di rumah
sakit dan perawatan lanjutan di rumah. Atas dasar hal tersebut diatas maka
penulis menyusun tulisan ilmiah dengan judul ”Asuhan Keperawatan Pada Anak/Bayi
Dengan Hiperbilirubinemia”.
2 KONSEP DASAR TEORI
2.1
Definisi
2.1.1
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi (kadar) bilirubin
tak terkonjugasi yang ditunjukkan dengan ikterus pada minggu pertama kelahiran.
2.1.2 Ikterus
adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane
mukosa, sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin
di dalam darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
2.1.3
Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus
yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai
dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubin.
Ikterus
pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah,
1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats,
2005):
1)
Timbul pada hari kedua -
ketiga.
2)
Kadar bilirubin indirek
setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg%
pada kurang bulan.
3)
Kecepatan peningkatan
kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
4)
Kadar bilirubin direk
kurang dari 1 mg%.
5)
Ikterus hilang pada 10
hari pertama.
6) Tidak mempunyai dasar patologis;
tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
Ikterus yang kemungkinan menjadi
patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut
(Surasmi, 2003) bila:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5
mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu
10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis
(inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir <
2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan
pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2.1.4
Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut
(Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan
dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi
dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
2.1.5
Kern Ikterus.
Adalah
suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama
pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah,
dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati
bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus
berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan
pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis
berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
2.2
Jenin
Bilirubin
Menurut
Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
2.2.1 Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin
indirek (bilirubin bebas) yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan
dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta
bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2.2.2 Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin
terikat) yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.
2.3
Metabolisme
Bilirubin
Segera
setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin yang larut
dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (albumin binding site). Pada
bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan enzim glukoronil transferase yang memadai sehingga serum bilirubin
tidak mencapai tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang
cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang
metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik
dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal
dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami
reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang
sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar
darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme
ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke
dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan
ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke
retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya
enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin
indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu
dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi
ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan
selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin.
Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami
peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini
terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin
pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12
mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian
bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam
darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan
sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa
dihari kemudian.
2.4
Etiologi
2.4.1 Peningkatan
produksi :
1) Hemolisis, misal pada inkompatibilitas
yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada
penggolongan Rhesus dan ABO.
2) Pendarahan tertutup
misalnya pada trauma kelahiran.
3) Ikatan bilirubin dengan
protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia
atau asidosis.
4) Defisiensi G6PD (Glukosa
6 Phospat Dehidrogenase).
5) Ikterus ASI yang
disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
6) Kurangnya enzim glukoronil
transeferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR.
7) Kelainan congenital
(rotor sindrome) dan dubin hiperbilirubinemia.
2.4.2 Gangguan transportasi
akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada hipoalbuminemia atau
karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiasine.
2.4.3 Gangguan fungsi hati
yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung
merusak sel hati dan sel darah merah seperti infeksi , toksoplasmosis, siphilis.
2.4.4 Gangguan ekskresi yang
terjadi intra atau ekstra hepatik.
2.4.5
Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada Ileus
Obstruktif.
Beberapa penyebab hiperbilirubin pada BBL adalah :
2.4.1
Faktor fisiologik/prematuritas.
2.4.2 Berhubungan dengan ASI.
2.4.3
Meningkatnya produksi bilirubin/hemolitik.
2.4.4 Ketidakmampuan hepar
liver untuk mensekresi bilirubin conjugata/ deficiensi ensim dan obstruksi
duktus biliaris.
2.4.5 Campuran antara
meningkatnya produksi dan menurunnya ekskresi / sepsis.
2.4.6 Adanya penyulit/hipothiroidism,
galaktosemia, bayi dengan ibu DM.
2.4.7
Predisposisi
genetik untuk meningkatkan produksi.
Penyebab
ikterus pada BBL dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa factor:
2.4.1 Produksi yang berlebihan.
Hal
ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang
meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
enzim G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase),
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2.4.2 Gangguan proses “uptake” dan
konjugasi hepar.
Gangguan
ini dapat disebabkan oleh imturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar)
penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam
“uptake” bilirubin ke sel hepar.
2.4.3 Gangguan transportasi.
Bilirubin
dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan
sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
2.4.4 Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan
ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.
2.5
Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk
sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein}
digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin
unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada
streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan
ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat
oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya
penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra
hepatika.
Pada
derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek
ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus
atau ensefalopati biliaris.
Mudah
tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada
bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat
terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan
Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia,
asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah
otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia
(AH Markum,
1991).
Menurut dr. Aty Firsiyanti, Sp.,A
patofisiologi dari hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut :
2.5.1
Produksi bilirubin
meningkat : sel darah merah ↑, umur sel darah merah ↓, pemecahan sel darah
merah ↑.
2.5.2
Penurunan konjugasi
bilirubin : prematuritas.
2.5.3
Peningkatan reabsorbsi
dalam saluran cerna : asfiksia, obstruksi saluran cerna.
2.5.4
Kegagalan ekskresi
cairan empedu : infeksi, sepsis, kolestasis, hepatitis, fibrosis kistik.
2.6
Manifestasi
Klinis
2.6.1
Kulit
tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin
indirek).
2.6.2 Kulit,
mukosa, dan konjungtiva berwarna kuning.
2.6.3 Anemia.
2.6.4 Petekie.
2.6.5 Perbesaran lien dan hepar.
2.6.6 Perdarahan tertutup.
2.6.7 Gangguan nafas.
2.6.8 Gangguan sirkulasi.
2.6.9
Gangguan
saraf
2.6.10
Letargi
(bayi sulit dibangunkan).
2.6.11
Demam
(suhu > 37°).
2.6.12
Muntah
(sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2x).
2.6.13
Diare
(lebih dari 3x).
2.6.14
Tidak
ada nafsu makan.
Menurut
Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
2.6.1 Gejala akut : gejala yang dianggap
sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum
dan hipotoni.
2.6.2 Gejala kronik : tangisan yang
melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan
atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia
dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
2.7
Komplikasi
Terjadi
kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain :
2.7.1
Bayi
tidak mau menghisap,
2.7.2
Letargi,
2.7.3
Mata
berputar-putar,
2.7.4
Gerakan
tidak menentu (involuntary movements),
2.7.5
Kejang
tonus otot meninggi,
2.7.6
Leher
kaku, dan akhirnya
2.7.7 Opistotonus.
2.8
Pemeriksaan
Penunjang
Bila
tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut
:
2.8.1 Pemeriksaan golongan darah ibu pada
saat kehamilan dan bayi pada saat kelahiran.
2.8.2 Bila ibu mempunyai golongan darah O
dianjurkan untuk menyimpan darah tali pusat pada setiap persalinan untuk
pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan.
2.8.3
Kadar
bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam pertama
kelahiran.
2.8.4 Pemeriksaan
laboratorium : bilirubin, golongan darah ibu anak, darah rutin, Coomb test,
kadar enzim G6PD.
2.8.5 Pemeriksaan
USG abdomen.
2.9
Pemeriksaan
Ikterus Menurut Kramer
Ikterus
dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh BBL dalam 5 bagian
bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki
serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari
telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, tulang
lutut dan lain-lain.
2.10
Penggolongan
Hiperbilirubinemia Berdasarkan Saat Terjadi Ikterus
2.10.1
Ikterus yang timbul pada 24 jam
pertama.
1)
Penyebab ikterus terjadi pada
24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
a)
Inkomptabilitas darah Rh, ABO
atau golongan lain.
b)
Infeksi intra uterin (virus,
toksoplasma, siphilis dan kadang-kadang bakteri).
c)
Kadang-kadang oleh defisiensi
enzim G6PD.
2)
Pemeriksaan yang perlu
dilakukan :
a)
Kadar bilirubin serum berkala.
b)
Darah tepi lengkap.
c)
Golongan darah ibu dan bayi.
d)
Test coombs.
e)
Pemeriksaan skrining defisiensi
G6PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
2.10.2
Ikterus yang timbul 24 – 72 jam
sesudah lahir.
1)
Biasanya ikterus fisiologis :
a) Masih ada kemungkinan
inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau
kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam.
b)
Defisiensi Enzim G6PD atau
Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
c)
Polisetimia.
d)
Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan
subaponeurosis, pendarahan hepar, sub kapsula dan lain-lain).
2)
Bila keadaan bayi baik dan
peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a)
Pemeriksaan darah tepi.
b)
Pemeriksaan darah bilirubin
berkala.
c)
Pemeriksaan skrining enzim
G6PD.
d)
Pemeriksaan lain bila perlu.
2.10.3
Ikterus yang timbul sesudah 72
jam pertama sampai akhir minggu pertama :
1)
Sepsis.
2)
Dehidrasi dan asidosis.
3)
Defisiensi enzim G6PD.
4)
Pengaruh obat-obat.
5)
Sindroma criggler-najjar,
sindroma gilbert.
2.10.4
Ikterus yang timbul pada akhir
minggu pertama dan selanjutnya :
1)
Karena ikterus obstruktif.
2)
Hipotiroidisme.
3)
Breast milk jaundice.
4)
Infeksi.
5)
Hepatitis neonatal.
6)
Galaktosemia.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan :
1)
Pemeriksaan bilirubin berkala.
2)
Pemeriksaan darah tepi.
3)
Skrining enzim G6PD.
4)
Biakan darah, biopsi hepar bila
ada indikasi.
2.11
Penatalaksanaan
Medis
Tujuan
utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai
nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung
ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase
dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat
menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
Berdasarkan
pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan
mempunyai tujuan antara lain :
2.11.1 Menghilangkan anemia.
2.11.2 Menghilangkan antibody maternal dan
eritrosit teresensitisasi.
2.11.3
Meningkatkan
badan serum albumin.
2.11.4
Menurunkan
serum bilirubin.
2.12
Metode
Therapi
2.12.1
Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau
dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan
neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a boun of fluorencent light
bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam
kulit. Fototherapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi
biliar bilirubin tak terkonjugasi.
Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi
jaringan mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan
dikirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan diekskresi ke
dalam deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati
(avery dan taeusch 1984).
Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototherapi mempunyai
peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia. Secara
umum fototherapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4 - 5 mg/dl.
Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di
fototherapi dengan konsentrasi bilirubun 5 mg/dl. Beberapa ilmuan mengarahkan
untuk memberikan fototherapi propilaksis pada 24 jam pertama pada bayi resiko
tinggi dan BBLR.
2.12.2
Tranfusi
Pengganti.
Transfuse pengganti atau imediat diindikasikan
adanya faktor-faktor sebagai berikut :
1)
Titer anti Rh
lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2)
Penyakit
hemolisis berat pada BBL.
3)
Penyakit
hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4)
Tes coombs
positif.
5)
Kadar
bilirubin direk lebih besar 3,5 mg/dl pada minggu pertama.
6)
Serum
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama.
7)
Hemoglobin
kurang dari 12 gr/dl.
8)
Bayi dengan
hidrops saat lahir.
9)
Bayi pada
resiko terjadi kern ikterus.
Transfusi pengganti digunakan untuk :
1)
Mengatasi
anemia sel darah merah yang tidak suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap antibodi maternal.
2)
Menghilangkan
sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan).
3)
Menghilangkan
serum bilirubin.
4)
Meningkatkan
albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan bilirubin.
Pada Rh inkomptabiliti diperlukan transfusi
darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah
yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. Setiap 4 – 8
jam kadar bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.
2.12.3
Therapi
Obat.
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk
menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekresinya.
Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal
masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan
siklus enterohepatika.
2.13
Prognosis
Hiperbilirubin
baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris,
gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin
kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan
adanya atitosis dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan
adanya atitosis dan gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari
kemudian.
3
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
3.1.1
Riwayat
penyakit : perlunya
ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah sebelumnya pernah
mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter maupun yang di beli
sendiri, apakah ada riwayat kontak dengan penderita sakit kuning, adakah riwayat
operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah.
3.1.2
Riwayat penyakit orang tua
: ditemukan
adanya riwayat gangguan hemolisi darah (ketidaksesuaian
golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, incompabilitas,
polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar obstruksi menetap pada saluran pencernaan dan ASI, dan ibu menderita DM.
3.1.3
Riwayat psikososial : dampak sakit pada anak, hubungan dengan orang tua,
apakah orang tua merasa bersalah, merasa bonding, perpisahan dengan anak.
3.1.4
Riwayat pengetahuan
keluarga dan pasien : penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut,
apakah mengenal keluarga lain yang memiliki pengetahuan yang sama meliputi ;
tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari hiperbilirubinemia (Cindy Smith
Greenberg. 1988).
3.1.5
Pemeriksaan fisik : pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat
ikterus, ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu
eritema palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk
pemeriksaan organ hati (tentang ukuran tepi dan permukaan), ditemukan adanya
pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu dan masa abdominal,
selaput lender, kulit berwarna merah tua, kuning, pucat, urine pekat warna teh, pallor konvulsi, letargi, tangisan
dengan nada tinggi (melengking), iritabilitas, penurunan
kekuatan otot (hipotonia), penurunan refleks menghisap, gatal, tremor, dan
convulsio (kejang perut).
3.1.6
Laboratorium : pada bayi dengan hiperbilirubinemia pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan adanya Rh darah ibu dan janin berlainan, kadar bilirubin
bayi aterm lebih dari 12,5 mg/dl, premature lebih dari 15 mg/dl, dan dilakukan
tes comb.
3.1.7
Pemeriksaan
psikologis : efek
dari sakit bayi yaitu diantaranya ; gelisah,
tidak/sulit kooperatif dan merasa asing.
3.2
Diagnosa,
Tujuan & Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang
memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan
asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa
keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
3.2.1
Diagnosa keperawatan : kurangnya
volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi,
dan diare.
1)
Tujuan : cairan tubuh neonatus
adekuat.
2)
Intervensi : catat jumlah dan
kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui
atau memberi botol.
3.2.2
Diagnosa keperawatan : gangguan
suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi.
1)
Tujuan : kestabilan suhu tubuh
bayi dapat dipertahankan.
2)
Intervensi : beri suhu
lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5° – 37°, cek TTV tiap 2 jam.
3.2.3
Diagnosa keperawatan : gangguan
integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare.
1)
Tujuan : keutuhan kulit bayi
dapat dipertahankan.
2)
Intervensi : kaji warna kulit
tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek, rubah posisi setiap 2 jam,
masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
3.2.4
Diagnosa keperawatan : gangguan
parenting sehubungan dengan pemisahan.
1)
Tujuan : orang tua dan bayi
menunjukan tingkah laku “Attachment”, orang tua dapat mengekspresikan ketidakmengertian
proses Bounding.
2)
Intervensi : bawa bayi ke ibu
untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu,
anjurkan orang tua untuk mengajak bicara
anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua
mengekspresikan perasaannya.
3.2.5
Diagnosa keperawatan : kecemasan
meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
1)
Tujuan : orang tua mengerti
tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada
tim kesehatan.
2)
Intervensi : kaji pengetahuan
keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi
dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi
dirumah.
3.2.6
Diagnosa keperawatan : potensial
trauma sehubungan dengan efek fototherapi.
1)
Tujuan : Neonatus akan
berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi.
2)
Intervensi : tempatkan neonatus
pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang
kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat
memantulkan cahaya, usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir,
matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam, buka penutup mata setiap akan disusukan, ajak bicara dan beri sentuhan
setiap memberikan perawatan.
3.2.7
Diagnosa keperawatan : potensial
trauma sehubungan dengan tranfusi tukar.
1)
Tujuan : tranfusi tukar dapat
dilakukan tanpa komplikasi.
2)
Intervensi : ccatat kondisi
umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan, basahi umbilikal dengan NaCl
selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum
tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta
darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar, pantau TTV selama dan sesudah
tranfusi, siapkan suction bila diperlukan, amati adanya ganguan cairan dan
elektrolit, apneu, bradikardi, kejang, monitor pemeriksaan laboratorium sesuai
program.
3.3
Evaluasi
3.3.1 Tidak terjadi kernikterus pada neonates.
3.3.2 TTV bayi stabil dalam batas normal.
3.3.3 Keseimbangan cairan dan elektrolit
bayi terpelihara.
3.3.4 Integritas kulit baik/utuh.
3.3.5 Bayi menunjukkan partisipasi
terhadap rangsangan visual.
3.3.6 Terjalin interaksi bayi dan orang
tua.
3.4
Aplikasi
Discharge Planing
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan
kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak
sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan
mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di rumah sakit dan
perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat
melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley
& wong, 1994) :
3.4.1 Anjurkan
ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran
seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
3.4.2 Anjurkan
ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan
kelancaran air susu.
3.4.3
Memberikan
penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin
bayi.
3.4.4 Menasehatkan
pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah
peningkatan bilirubin.
3.4.5
Mengajarkan
tentang perawatan kulit :
1)
Memandikan
dengan sabun yang lembut dan air hangat.
2)
Siapkan
alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit
yang rusak.
3)
Gunakan
pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
4)
Hindari
pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
5)
Hindari
penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet
karena gesekan.
6)
Melihat
faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang
lama, garukan.
7)
Bebaskan
kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
8)
Melakukan
pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit dan CRT.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
3.4.1
Cara
memandikan bayi dengan air hangat (37 - 38°).
3.4.2
Perawatan
tali pusat/umbilicus.
3.4.3
Mengganti
popok dan pakaian bayi.
3.4.4
Menangis
merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu
yang baru.
3.4.5
Temperatur
/ suhu.
3.4.6
Pernapasan.
3.4.7
Cara
menyusui.
3.4.8
Eliminasi.
3.4.9
Perawatan
sirkumsisi.
3.4.10 Imunisasi.
3.4.11 Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
1)
Letargi
(bayi sulit dibangunkan).
2)
Demam (suhu
> 37°).
3)
Muntah (sebagian
besar atau seluruh makanan sebanyak 2x).
4)
Diare
(lebih dari 3x).
5)
Tidak ada
nafsu makan.
3.4.12 Keamanan
1) Mencegah
bayi dari trauma seperti ; kejatuhan benda tajam (pisau atau gunting) yang
mudah dijangkau oleh bayi/balita.
2)
Mencegah
benda panas, listrik dan sebagainya.
3) Menjaga
keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
4)
Pengawasan
yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak
and Jansen (1984), Etential of Nursing.
St. Louis : The CV Mosby Company.
Bobak, J. (1985). Materity and Gynecologic Care. Precenton.
Cloherty, P. John (1981). Manual of Neonatal Care. USA.
Harper. (1994). Biokimia. Jakarta
: EGC.
Hawkins,
J.W. and Gorsine, B. (1985). Post Partum
Nursing. New York : Springen.
Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. Toronto :
The Mosby Compani CV.
Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. Jakarta : FKUI.
Mayers, M. et. al. (1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. New York
: Mc.Graw-Hill, Inc.
Nelson
J.P. and May, K.A. (1986). Comprehensive
Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Pritchard, J. A. et. al. (1991). Obstetri Williams. Edisi XVII. Surabaya : Airlangga
University Press.
Riyawan.com | Kumpulan Artikel & Materi Keperawatan Farmasi
Reeder,
S.J. et al. (1983). Maternity Nursing.
Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Susan, R. J. et. al. (1988). Child Health Nursing. California.
CONTOH SOAL
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA
1.
Komplikasi pada bayi
dengan hiperbilirubinemia yaitu terjadinya kern ikterus. Jika sampai terjadi
kern ikterus, bayi akan mengalami gejala klinis pada permulaan yang tidak jelas
seperti dibawah ini, kecuali ?
a.
Mata berputar-putar.
b.
Reflex menghisap bayi
sangat kuat.
c.
Involuntary movements.
d.
Kejang tonus otot
meninggi.
e.
Leher kaku.
Jawaban : B
2. Dibawah ini merupakan
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi dengan hiperbilirubinemia,
kecuali ?
a.
Kadar bilirubin serum
total.
b.
Golongan darah ibu dan
bayi.
c.
MRI.
d.
Kadar enzim G6PD.
e.
USG abdomen.
Jawaban : C
3. Daerah ikterus manakah
dengan perkiraan kadar bilirubin yang tepat pada derajat ikterus IV ?
a.
Kepala & leher
dengan 5,0 mg/dl.
b.Sampai badan atas (di
atas umbilikus) dengan 9,0 mg/dl.
c. Sampai badan bawah (di
bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut) dengan 11,4 mg/dl.
d. Sampai lengan, tungkai
bawah lutut dengan 12,4 mg/dl.
Jawaban : D (4 saja)
4. Penatalaksanaan medis
pada bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan
membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan tersebut mempunyai tujuan
diantaranya ?
a. Menghilangkan anemia.
b. Menghilangkan antibody
maternal & eritrosit teresensitiasi.
c. Meningkatkan badan
serum albumin.
d. Menurunkan serum
bilirubin.
e. Semua Benar
Jawaban : E (1, 2, 3 & 4 / benar semua)
0 comments:
Posting Komentar