ASUHAN
KEPERAWATAN
EFUSI PLEURA
1.
KONSEP DASAR MEDIS
Pengertian.
Efusi pleuran adalah keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam
rongga pleura (Sorparman, 1990 : 89).
Efusi pleura adalah cairan dalam rongga pleura, cairan pleura normal
menembus perlahan rongga pleura dari garis kapiler plura kapiler pleura
parietal dan di serap oleh kapiler pleura viseral dam limfe (M Blsck, 1997 :
1166).
Etiologi.
1) Hambatan reabsorbsi cairan rongga pleura, akrena adanya
bendungan seperti pada decompensasi cordis, penyakit ginjal, tumor mediastinum,
syndroma meig (tumor ovarium).
2) Pembentukan cairan yang berlebihan karena radang (TBC,
pneumonia, virus), bronchiectasis, abses amuba subfrenik yang menembus rongga
pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena rauma.
1.3.Patofisiologi
Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5ml cairan yang cukup untuk
membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura veseralis. Cairan
dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan
koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini di serap kembali oleh
kapiler paru dan pleura dan viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir
ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter
seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hiperemia
akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik, (hipoalbuminemia), peningkatan
tekanan vena (gagal jantung). Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung
karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan serosis
hepatik tekanan osmotik koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara
lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga
kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak
sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil
sehingga bert jenisnya rendah.
Infeksi tuberkulosis pleura biasanya disebabkan oleh efek primer sehingga
berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara kedua pleura yang
meradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan mungkin hanya sub febris, kadang
ada demam. Diagnosis pleuritis tuberkulosa eksudativa ditegakkan dengan pungsi untuk
pemeriksaan kuman basil tahan asam dan jika perlu torakskopi untuk biopsi
pleura.
Pada penangannya, selain di perlukan tuberkulostatik, di perlukan juga
istirahat dan kalau perlu pemberian analgesik. Pungsi dilakukan bila cairan
demikian banyak dan menimbulkan sesak nafas dan pendorongan mediastium ke sisi
yang sehat. Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik, pada fungsi
paru-paru maupun pada penyakitnya.
1.4.Patogenesis.
Patogenesis terbentuknya cairan pleura terbagi atas tiga bagian :
1.4.1.Non
malignancy
Dalam keadaan fisiplogis cairan pleura berkisar antara 10 – 20 cc dan
cairan ini bervariasipadas latihan fisik (Yanda 1993).
Sedangkan muller mendapatkan tekanan hidrostetik intra pleura minus 5 cm
H2O. Menurut teori driving pressure adalah sama dengan perbedaan
tekanan hidrostatik (tekanan intrapleura dikurangi dengan hidrostetik kapiler
dan tekanan ini besarnya 6 cm H2O). Jadi dasar pembentukan ini
adalah tekanan hirostetik lebih besar dari tekanan osmotik.
Pada pleura viseralis dimana perbedaan tekanan osmotik lebih besar dari
pada tekanan hidrostatik. Pada pleura viseralis terjadi penghisapan cairan
dengan kekuatan penghisapan sama dengan perbedaan tekanan osmotik intra kapiler
dan intra pleura. Keseimbangan cairan pleura berdasarkan atas tekanan positif
pada pleura parietalis dan negatif pada pressure viseralis, secara teori
pembentukan cairan ini dapat di bagi atas :
1)
Eksudat
(1)
Permeabilitas kapiler pleurah bertambah
(2)
Pengalihan cairan limfe rongga pleura terhambat.
2)
Transudat.
(1)
Bendungan sistemik dari arteri pulmonalis
(2)
Hipoproteinemia sistemik dengan merendahnya koloid
osmotik plasma.
(3)
Tekanan intra pleura yang negatif.
(4)
Pembesaran transudat intra peritonial melalui sistem
limfe.
1.4.2.Pleuritis
Eksudat malignant
Pada pluritis eksudative malignant faktor fisiologis ini tidak dapat lagi
diperhitungkan oleh mekanisme. Pembentukan cairan memberikan gambaran patologis
antara lain :
1)
Erosi pembuluh darah dan pembuluh limfe.
2)
Pleuritis akibat sekunder infeksi dari tumor.
3)
Obstruksi pembuluh darah atau pembuluh limfe.
4)
Implantasi sel tumor pada plasma.
Pembentukan cairan seperti ini menyebabkan dcairan
cepat terkumpul dan bertahan. Keadaan ini berlangsung secara masif dan
hemoragik.
Perbedaan
Cairan Eksudat dan ransudat.
No
|
Transudat
|
Eksudat
|
|
1
2
3
4
5
|
Lebih jernih
Mengandung protein kurang dai 39%
BJ kurang dari 1,016
Mengandung sel-sel mesofeloid
Kadar LDH dalam efusi kurang dari 200
|
Lebih keruh, warna lebih tua
Mengandung protein lebih dari 19 %
BJ lebig dari 1,016
Mengandung sel-sel radang (Leukosit, lymfasit dan
makrofak) dan kuman-kuman
Kadar LDH dalam efusi lebih dari 200
|
|
Percobaan Rivalka dengan meneteskan serosa kedalam
larutan Rivalka (asam asetat glasiat 1, aquabides ad 100). Bila keadaan
kekeruhan berupa awan-awan rivalka (+), sebaiknya cairan diperiksa secara
kultur yaitu dengan biopsi pleura apabila penyebab belum diketahui secara
pasti.
1.5.Tanda dan
gejala.
1.5.1.Sesak
nafas
1.5.2.Rasa berat
pada dada
1.5.3.Keluhan
akan gejala karena penyakit dari karena neoplasma.
1)
Lemah yang progesif
karena neoplasma
2)
Batuk-batu darah pada perokok
Ca bronkus
3)
Demam subfebris.
Pada tuberculosa.
4)
Demam menggigil.
Pada empyema.
5)
Ascites.
Pada arteri hepatis.
1.5.4. Nyeri
pleura (gangguan pada pleura dana rongga pleura)
Nyeri pleura merupakan manifestasi umum dan digolongkan dengan gangguan
varietas yang timbul dari pleura parietalis yang mana kaya akan suplai nervus
sensori akhir. Nyeri pleura yang indikasi adanya inflamasi pleura (pleuritis)
dengan pneumoni infark pulmo yang merupakan sebab lain efusi pleura sering
disertai dengan frichon sub pleura yang didapatkan selama auskultasi dada.
Nyeri dada pleura dapat membatasi usaha RR normal, yang penting untuk masalah
pertukaran gas dan kebersihan jalan nafas jika tindakan untuk membebaskan nyeri
masuk dalam pemberian resep analgesik juga bisa dengan kolaborasi dengan dokter
untuk menggunakan Blok pada syaraf intercosta.
1.6.Diagnosis.
1.6.1.Pemeriksaan
Fisik.
1)
fremitus yang menurun
2)
perkusi yang pekak
3)
suara nafas yang menghilang pada auskultasi.
1.6.2.Foto
ronkgen thorax : PA, Lateralis.
1)
Tampak terdorongnya mediastinum pada sisi yang
berlawanan dengan cairan.
2)
Dapat menunjukkan mula terjadinya efusi pleura yakni
bila jantung yang membesar, adanya tumor, adanya lesi tulang destruktif.
3)
Pada permulaan didapati menghilangnya sudut costa
fremitus.
4)
Bila cairan lebih dari 300 ml akan terlihat cairan dengan permukan melengkung.
1.6.3.CT (Computer
Tomografi).
Adanya perbedaan densitas cairan dengan cairan disekitarnya, adanya efusi
pleura.
1.6.4.Thorakosintesis
1)
Dilakukan pada linea axilaris anterior dan posterior
pada iga ke 8.
2)
Warna cairan pleura kekuningan (serous / xantho /
crhome).
3) Bila agak kemerahan dapat terjadi pada trauma, infark
paru, keganasan dan adanya kebocoran anurisma aorta.
4)
Bila berwarna kuning ehijauan dan agak purulent
menunjukan empyema.
5)
Bila merah tengguli dapat terjadi abses karena amoeba.
6)
Perbedaan cairan eksudat dan transudat.
1.6.5.GDA (gas
darah analisa).
Pa CO2 kadang-kadang meningkat.
Pa O2 normal atau saturasi O2 turun.
1.6.6.Biopsi
pleura.
Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh-contoh jaringan pleura
dapat menunjukkan 50 – 70 % diagnosis kasus – kasus pluritis tuberculosa dan
tumor paru.
1.7.Dignosa
banding.
1.7.1.Efusi
pleura dengan cairan transudat.
1)
gagal ventrikel kiri.
2)
Serosis.
3)
Nefrotik syndrom.
1.7.2.Efusi
pleura dengan cairan eksudat.
1)
Para oneumonia blokeril / viral.
2)
Infark pulmonal.
3)
Mikro bakterium.
1.7.3.Efusi
pleuran dengan cairan berdarah, trauma torak, keganasan.
1.7.4.Efusi
pleura dengan cairan hilus, trauma torak, lymfoproliferasi.
1.8.Komplikasi.
1)
Pneumothorax
2)
Hemothorax
3)
Infeksi pada dinding dada.
4)
Tumor pada dinding dada.
1.9.Terapi.
1.9.1 Aspirasi
cairan pleura / punksi.
Punksi ditujukan pula dengan tujuan melakukan aspirasi atas dasar
gangguan fungsi ventrikel paru atau terjadinya desakan pada alat-alat
mediastinal. Punksi pleura dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan.
Komplikasi dari punksi yaitu :
1)
Trauma.
2)
Pemindahan mediastinum
3)
Gangguan keseimbangan cairan PH, elektrolit, anemia dan
hipoproteinemia.
1.9.2.Water
sailed drainase (WSD).
Telah dilakukan oleh berbagai penyelidikan akan tetapi bila WSD ini di
hentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan (Anderson, 1974).
1.9.3.Penggunaan
obat-obatan.
1)
Mustargen 0,4 mg / kg BB, dosis 20 – 40 mg dalam 100 cc
larutan garam.
2)
Theothepa 20 – 50 mg intra pleura.
3)
Mabrine 250 mg dalam 100 cc aquabides.
4)
Flura ureil metomycine.
2.
KONSEP DASAR ASKEP
Pengkajian.
2.1.1.Biodata :
Terjadi pada anak-anak dan usia tua.
2.1.2.Keluhan
utama : Sesak nafas.
2.1.3.Riwayat
keperawatan
2.1.3.1.Pola
aktivitas
1)
Gejala :
(1)
Keletihan, kelelahan, malaise.
(2)
Ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari karena
sulit bernafas.
(3)
Dispnea saat istirahat / respon terhadap latihan.
2)
Tanda :
(1) Keletihan, gelisah, insomnia, keletihan umum.
2.1.3.2.Pola
nutrisi
1)
Gejala :
(1)
Mual, muntah
(2)
Nafsu makan menurun
2)
Tanda :
(1)
turgor kulit buruk.
(2)
Odem dependent.
2.1.3.3.Pola
hygene
1)
Gejala :
(1)
Penurunan kemampuan / peningkatan bantuan dalam
aktifitas sehari-hari.
2)
Tanda :
(1)
Kebersihan buruk, bau badan.
2.1.3.4.Pola
interaksi sosial.
1)
Gejala :
(1)
Hubungan ketergantungan
(2)
Kurangnya sistem pendukung
(3)
Kegagalan dukungan dari / terhadap pasangan / orang
terdekat.
2)
Tanda :
(1)
Ketidak mampuan mempertahankan suasana.
(2)
Keterbatasan mobilitas fisik.
(3)
Kelainan hubungan dengan anggota keluarga lain.
2.1.3.5.Pola
Keamanan
1)
Adanya trauma dada.
2)
Radiasi, kemoterapi untuk keganasan.
2.1.4.Pemeriksaan
fisik
Sirkulasi
1)
Takikardi, disaritmia.
2)
S3 / S4 / irama jantung gallop.
3)
Nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan medial
stinal.
4)
Hipertensi / hipotensi.
5)
DVJ, pneumothorax.
6)
Tanda homenan (bunyi rendah sehubungan dengan
penyimpangan denyutan jantung, menunjukkan adanya udara mediastinum ).
Pernafasan.
1)
Gejala :
(1)
Kesulitan nafas.
(2)
Batuk
(3)
Riwayat bedah dada dan trauma, penyakit paru kronis,
infeksi.
(4)
Penyakit menyebar (sarkaides), keganasan.
2)
Tanda :
(1)
Pernafasan, peningkatan frekwensi / takipnea.
(2) Peningkatan kerja nafas, penggunaan obat aksesori
pernafasan pada dada, leher, retraksi intercosta, ekspirasi abdominal kuat.
3)
Bunyi nafas : Pekak diatas area yang terdiri dari
cairan.
4)
Fremitus menurun (sisi yang terlibat)
5)
Observasi dan palpasi dada : gerakan tidak sama,
penurunan pengembangan thorax.
6)
Kulit : Pucat, cyanosis, berkeringat, krepitasi
subkutan, odem pada jaringan dengan palpasi.
7)
Mental : Asites, gelisah, bingung dan pingsan.
8)
Penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif / terapi
DEEP
Pemeriksaan diagnostik
1)
Sinar X dada : Menyatakan akumulasi cairan pada area
pleura.
2)
GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang
di pengaruhi gengguan mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi.
3)
Thorako sintesis : Menyatakan darah / cairan
serousngiosa.
4)
Pemberian cairan pleura (-), thorako sintesis
5)
HB : Mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah
Prioritas keperawatan
1)
Meningkatkan / mempetahankan ekspansi paru untuk
oksigen / ventilasi adekuat.
2)
Meminimalkan / mencegah komplikasi
3)
Menurunkan ketidak nyamanan / nyeri.
4)
Memberikan informasi tentang proses penyakit, program
pengobatan dan prognosis.
Tujuan pemulangan
1)
Ventilasi / oksigenasi adekuat dipertahankan.
2)
Komplikasi dicegah / teratasi.
3)
Nyeri tak ada / terkontrol.
4)
Proses penyakit / prognosis dan kebutuhan terapi
dipahami.
Diagnosa
keperawatan
1) Pola pernafasan tak efektif b/d penurunan ekspansi
paru, nyeri / ansietas, proses inflamasi dan gangguan muskuloskeletal yang
ditandai dengan dispnea, takipnea, perubahan kedalaman / keasaman pernafasan,
penggunaan otot assesoris, PCH, gangguan pengembangan dada, sianosis, dan GDA
tak normal.
2) Penghentian nafas, resiko terhadap berhubungan
kurangnya pendidikan pencegahan / keamanan.
3) Kurangnya penguatan (kebutuhan belajar) mengenai
kondisi, aturan pengobatan b/d kurangnya informasi yang ditandai dengan
mengekpresikan masalah dan meminta informasi.
Rencana
keperawatan.
Diagnosa I
1)
Kriteria evaluasi.
Pasien akan menujukkan pola pernafasan normal dengan GDA normal, bebas
sianosis dan hipoksia.
2)
Intervensi :
(1)
Mengidentifikasi faktor pencetus / etiologi.
R/ Pemahaman penyebab kolap paru perlu untuk pemasangan selang dada yang
tepat dan memilih tindakan terapeutik lainnya.
(2)
Evaluasi fungsi pernafasan, catat kecepatan pernafasan,
sesak, dispnea keluhan lapar, nafas sianosis, dan perubahan TTV.
R/ Distress pernafasan dan perubahan TTV dapat terjadi akibat setress
fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sampai hipoksia
perdarahan.
(3)
Auskultasi bunyi nafas.
R/ Area atelektasis tak ada bunyi nafas dan sebagian area kolaps
menunjukkan bunyi nafas menurun, mengetahui perbaikan dari efusi pleura
(4)
Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk / nafas
dalam.
R/ Sokong terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif
atau mengurangi trauma.
(5)
Pertahankan posisi yang nyaman, biasanya dengan
peninggian kepala tempat tidur.
R/ Meninggikan inspirasi maximal dan meningkatkan ekspansi paru dan
ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
(6)
Bila selang dada dipasang, periksa pengontrol
penghisapan dengan jumlah hisapan yang besar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif inra pleura sesuai dengan yang
diberikan.
(7)
Berikan O2 tambahan.
R/ Menurunkan kerja nafas, menghilangkan sianosis sampai hipoksia.
Diagnosa II
1)
Kriteria evaluasi.
(1)
Mengenal kebutuhan / mencari bantuan untuk mencegah
komplikasi.
(2)
Pemberian perawatan akan memperbaiki / menghindari dari
lingkungan dan bahaya fisik.
2)
Intervensi :
(1)
Kaji dengan pasien tujuan / fungsi unit drainase dada,
catat gambaran keamanan.
R/ Informasi tentang bagaimana sistem bekerja memberikan keyakinan,
menurunkan ansietas pasien.
(2)
Pasang kateter thorax kedinding dada dan berikan
panjang selang ekstra sebelum memindahkan mengubah posisi pasien.
R/ Mencegah terlepasnya kateter dada atau terlihat selang dan menurunkan
nyeri sehuibungan dengan penarikan atau menggerakkan selang.
(3)
Berikan bantalan pada salah satu sisi dengan kasa atau
plester.
R/ Melindungi iritasi atau tekanan pada kulit
(4)
Awasi sisi lubang pemasangan selang catat kondisi kulit
adanya / karakteristik drainase dari sekitar.
R/ Memberikan pengenalan dini dan mengobati adanya erosi atau infeksi
kulit.
(5)
Anjurkan pasien untuk menghindari berbaring / menarik
selang.
Diagnosa III
1)
Kriteria evaluasi
(1)
Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu).
(2)
Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan
pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
2)
Intervensi :
(1)
Kaji patologi masalah individu.
R/ Informasi menurunkan perasaan takut karena ketidak tahuan.
(2)
Identifikasi kemungkinan kambuh / komplikasi jangka
panjang.
R/ Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat dan keganasan dapat
meningkatkan insiden kambuh.
(3)
Kaji ulang praktik kesehatan dan latihan.
R/ Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan mencegah
kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Dale Beng, ND (2000), Ilmu Penyakit Dalam,
Hipokrates, jakarta.
Doengoes E, Marilyn (2000), Rencana asuhan Keperawatan,
Edisi 3, EGC. Jakarta.
Joyce M, Blavk (1997), Medical Surgical Nursing,
Fifth Edition, WB Saunders Company, Philadelpia.
Purnawan Junaidi (1982), Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi 2, Penerbit Media Aeskulapius, FKUI, Jakarta.
Riyawan.com | Kumpulan Artikel Keperawatan Farmasi
Tabrani Rab (1986), Prinsip Gawat Paru< EGC,
Jakarta.
0 comments:
Posting Komentar