MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR FEMUR DAN PELVIS
Kata Pengantar
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Karena berkat Taufik dan Hidayah – Nya, penulis
dapat menyusun Makalah ini.
Penulis menyadari makalah
ini masih terdapat kekurangan, namun demikian penulis berharap makalah ini
dapat menjadi bahan rujukan dan semoga dapat menambah pengetahuan
mahasiswa–mahasiswi Akademi
Keperawatan Lamongan dengan judul “Asuhan
Keperawatan Fraktur”
Penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
makalah ini terutama kepada Bapak
M.Nukhun, SPd.,S.Kep.Ns selaku Dosen mata kuliah Kegawatdaruratan.
Dengan segala hormat
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
untuk penyempurnaan makalah ini.
Lamongan, 19 Maret 2012
Penyusun
Edy Yuli Riyawan, S.Kep.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf
halusinasi menuju
industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan
mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi
peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor khususnya
bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan” arus
lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan
kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut
sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Soegiri di ruang Orthopedi periode Juli 2011 s/d Desember 2012 berjumlah 323 yang
mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur panggul atau pelvis presentase sebesar 5%
dan fraktur femur sebesar 20%.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur
adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode
mobilisasi fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001
: 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi
yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
B. Rumusan Masalah
1)
Apakah
penyebab Fraktur khususnya fraktur pelvis dan femur serta manifestasi klinis
dari fraktur?
2)
Bagaimana
penatalaksanaan fraktur khususnya fraktur pelvis dan femur serta Asuhan Keperawatan kegawatdaruratan yang
diberikan pada pasien dengan masalah fraktur?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyusunan makalah tentang
fraktur femur dan pelvis diharapkan agar mahasiswa lebih mengerti tentang
fraktur femur dan pelvis.
2. Tujuan Khusus
1)
Mengetahui penyebab
fraktur femur dan pelvis dan Manifestasi Klinis dari fraktur.
2)
Mengetahui
penatalaksanaan fraktur femur dan pelvis.
3)
mengetahui
diagnosis fraktur femur dan pelvis.
4)
Mengetahui
intervensi dan implementasi yang diberikan pada klien dengan fraktur femur dan pelvis
5)
Mengetahui
WOC dari fraktur femur dan pelvis.
D. Manfaat
1)
Bagi
mahasiswa
Dengan adanya makalah ini mahasiswa dapat mempelajari tentang askep
kegawatdaruratan pada klien dengan fraktur femur dan pelvis sehingga memudahkan
mahasiswa dalam belajar.
2)
Bagi Dosen
Memudahkan dosen dalam memberikan materi
perkuliahan karena mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan dasar dari pembuatan
makalah askep kegawatdaruratan pada
klien dengan fraktur femur dan pelvis.
BAB II
TIJAUAN
PUSTAKA
A.
Konsep
Medis
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis”
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”.
Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.(Simon & schuster, 2003).
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
1).
Tulang panjang (Femur,
Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung
yang disebut epifisis. Di
sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang
rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng
epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena
akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh
sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas,
dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis
dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir
tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang
berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan,
estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis
medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu
lapisan luar dari tulang yang padat.
3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di
sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan
jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas
sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis
dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas
berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan,
asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana
garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon ( unit matriks
tulang ). Osteoklas adalah
sel multinuclear ( berinti banyak) yang
berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik
fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus
yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak
sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti
dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang
mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum
adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga
dalam tulang kanselus. Osteoklast
, yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat
endosteum dan dalam lacuna Howship
(cekungan pada permukaan tulang).
Gambar 1 Anatomi
tulang panjang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan
garam. Bahan organik disebut matriks,
dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 %
proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit
garam terutama adalah kalsium
dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus
menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan
pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor
makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat
aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam
tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan
matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam
kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau
bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan
disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang,
osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu
dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan
terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi.
Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu
dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel
yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik
multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di
tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna
tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya
sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi
sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul
osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang
baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan
osteoklas menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas
melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan
menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang
pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah
total massa tulang konstan. Pada usia
pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan
kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada
tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau
kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh
sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa
faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas
dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk
sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang
aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon
perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan
tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar
hormon-hormon tersebut. Estrogen dan
testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh
dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang).
Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang.
Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi
tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak
langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini
meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang.
Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan
meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar
tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi
tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas
osteoklas terutama dikontrol oleh hormon
paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh
kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah.
Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid
lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada
osteoklas.
Efek lain Hormon
paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh
ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan
ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat
darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid.
Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid
sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat
aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan
kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
Tulang
panggul (pelvis) terdiri dari dua tulang coxae, sacrum dan coccygeus.
Berartikulasi di anterior yaitu pada simphisis pubis, di posterior pada
artikulasio sacroiliaca. Struktur mirip cekungan ini memindahkan berat dari
badan ke tungkai bawah dan memberikan perlindungan pada viscera, pembuluh darah
, dan saraf di pelvis (Apley, 2000).
Stabilitas
cincin pelvis tergantung pada kekakuan tulang-tulang dan integritas ligament
yang kuat yang mengikat tiga segmen tulang bersama-sama pada simphisis pubis
dan artikulasio sacroiliaca. Ligamen pengikat yang paling kuat dan yang paling
penting dalah ligament sacroiliaca dan ligament iliolumbal. Selama ligament-ligamen
itu utuh, penahan beban tidak akan terganggu. Ini adalah factor yang penting
untuk membedakan cidera yang stabil dan yang tidak stabil pada cincin pelvis
(Apley,2000).
Tulang coxae (panggul) terdiri dari tiga tulang, yaitu tulang pubis, ilium, dan ischium yang berhubungan secara sinostosis pada fossa acetabuli, yang dibatasi oleh limbus acetabuli dan dikelilingi oleh facies lunata. Incisura acetabuli membuka acetabulum ke inferior dan berbatasan dengan foramen obturatorium (Platzer,2000)
Tulang coxae atau disebut juga dengan innominate bone bentuknya datar dan lebar, merupakan os ireguler yang membentuk bagian terbesar pelvis. Tulang ini tersusun atas tiga buah tulang yaitu tulang ilium, tulang ischium dan tulang pelvis yang corpusnya bersatu di acetabulum, yang terletak di facies eksterna tulang ini. Tulang ilium, disebut demikian karena menyangga pinggul, lebar di bagian superior dan membentang ke cranial dari acetabulum. Tulang ischium letaknya paling bawah dan merupakan bagiab paling kuat, berjalan ke bawah dari acetabulum dan memanjang ke tuber ischiadicum, kemudian melengkung ke ventral, bersama-sama tulang pubis membentuk lubang besar yaitu foramen obturatorium. Tulang pubis memanjang ke medial dari acetabulum dan bersendi di linea mediana dengan tulang pubis sisi yang berseberangan dengan membentuk simfisis osseum pubis, membentuk bagian depan pelvis (Hadiwidjaja, 2004)
Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan ramus inferior ossis pubis. Kedua rami tersebut dibatasi oleh foramen obturatorium. Dekat ujung superior medialis facies symphysialis terdapat tuberculum pubicum dari sana terdapat crista pubica terbentang ke medialis dan pectin pubis mengarah ke lateralis terhadap linea arcuata. Pada tempat peralihan dari ramus superior pubis ke ilium terdapat peninggian disebut eminentia iliopubica. Sulcus obturatorius terletak inferior terhadap tuberculum pubicum dan dibatasi sebelah dalam oleh tuberculum obturatorium anterius dan tuberculum obturatorium posterius yang tidak selalu ada.
Tulang ilium dibagi menjadi bagian corpus ossis ilii dan ala ossis ilii. Corpus membentuk bagian acetabulum dan dibatasi sebelah luar oleh sulcus supra acetabularis dan di sebelah dalam oleh linea arcuata. Di bagian luar ala ossis ilii terdapat facies glutealis dan sebelah dalamnya terdapat fossa iliaca mudah dilihat. Di belakang fossa iliaca terdapat facies sacropelvica dengan tuberositas iliaca dan facies aurikularis. Crista iliaca mulai dari anterior pada spina iliaca anterior superior dan dibagi atas crista iliaca labium labium eksternum dan crista iliaca labium internum, serta linea intermedia yang memanjang ke atas dank e belakang. Terdapat juga di bagian lateralis lbium eksternum berupa tuberositas iliaca. Ujung crista iliaca berakhir pada spina iliaca superior posterior. Di bawah yang terakhir ini terdapat spina iliaca posterior inferior, sedangkan yang di bawah depan terdapat spina iliaca anterior inferior. Linea glutealis inferior, linea glutealis anterior, linea glutealis posteriorterletak pada facies glutealis. Selain itu terdapat juga beberapa saluran vaskuler diantaranya yang sesuai dengan fungsinya yaitu vasaemissaria
Tulang ischium dibagi atas corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii, yang bersama-samadengan ramus inferior ossis pubis membentuk batas bawah foramen obturatorium. Tonjolan ischium disebut spina ischiadica yang memisahkan incisura ischiadica mayor dengan incisura ischiadica minor. Incisura ischiadica mayor dibentuk sebagian oleh ischium dan sebagian lagi oleh ilium, serta mengarah ke permukaan bawah facies aurikularis. Tuber ischiadicum berkembang pada ramus ischium (Platzer, 2000)
Cabang utama dari arteri iliaca komunis muncul di dalam pelvis diantara sendi sacroiliaca dan incisura ischiadica mayor. Bersama cabang-cabang venanya, pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cidera bila fraktur mengenai bagian posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan sacralis juga juga menghadapi resiko bila tejadi cidera pelvis posterior
Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum dipertahankan pada posisinya dengan ligament lateralis kandung kemih, dan pada pria dengan prostat. Prostat terlerak diantara kandung kemih dan dasar pelvis. Prostat dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani, sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligament puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks vagina anterior. Urethra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligament pubourethra. Akibatnya pada wanita urethra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena cidera
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia tempatnya turun dan berlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian trauma buli kurang lebih 2% dari seluruh trauma urogenitalia. Hampir sekitar 90% trauma buli akibat fraktur pelvis. Apabila terjadi kontusio kandung kemih bias dipasang kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada kandung kemih, dengan cara ini diharapkan dapat sembuh 7-10 hari. (Purnomo,2007)
Pada cidera pelvis yang berat urethra membranosa dapat rusak bila prostat dipaksa ke belakang sementara urethra tetap diam. Bila ligament puboprostat robek, prostat dan dasar kandung kemih dapat banyak mengalami dislokasi dari urethramembranosa
Kolon pelvis dengan mesenteriumnya merupakan struktur yang mobil sehingga tidak mudah cidera. Tetapi, rectum dan saluran anus lebih erat tertambat pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi fraktur pelvis (Apley, 2000)
Tulang coxae (panggul) terdiri dari tiga tulang, yaitu tulang pubis, ilium, dan ischium yang berhubungan secara sinostosis pada fossa acetabuli, yang dibatasi oleh limbus acetabuli dan dikelilingi oleh facies lunata. Incisura acetabuli membuka acetabulum ke inferior dan berbatasan dengan foramen obturatorium (Platzer,2000)
Tulang coxae atau disebut juga dengan innominate bone bentuknya datar dan lebar, merupakan os ireguler yang membentuk bagian terbesar pelvis. Tulang ini tersusun atas tiga buah tulang yaitu tulang ilium, tulang ischium dan tulang pelvis yang corpusnya bersatu di acetabulum, yang terletak di facies eksterna tulang ini. Tulang ilium, disebut demikian karena menyangga pinggul, lebar di bagian superior dan membentang ke cranial dari acetabulum. Tulang ischium letaknya paling bawah dan merupakan bagiab paling kuat, berjalan ke bawah dari acetabulum dan memanjang ke tuber ischiadicum, kemudian melengkung ke ventral, bersama-sama tulang pubis membentuk lubang besar yaitu foramen obturatorium. Tulang pubis memanjang ke medial dari acetabulum dan bersendi di linea mediana dengan tulang pubis sisi yang berseberangan dengan membentuk simfisis osseum pubis, membentuk bagian depan pelvis (Hadiwidjaja, 2004)
Tulang pubis terdiri dari ramus superior ossis pubis dan ramus inferior ossis pubis. Kedua rami tersebut dibatasi oleh foramen obturatorium. Dekat ujung superior medialis facies symphysialis terdapat tuberculum pubicum dari sana terdapat crista pubica terbentang ke medialis dan pectin pubis mengarah ke lateralis terhadap linea arcuata. Pada tempat peralihan dari ramus superior pubis ke ilium terdapat peninggian disebut eminentia iliopubica. Sulcus obturatorius terletak inferior terhadap tuberculum pubicum dan dibatasi sebelah dalam oleh tuberculum obturatorium anterius dan tuberculum obturatorium posterius yang tidak selalu ada.
Tulang ilium dibagi menjadi bagian corpus ossis ilii dan ala ossis ilii. Corpus membentuk bagian acetabulum dan dibatasi sebelah luar oleh sulcus supra acetabularis dan di sebelah dalam oleh linea arcuata. Di bagian luar ala ossis ilii terdapat facies glutealis dan sebelah dalamnya terdapat fossa iliaca mudah dilihat. Di belakang fossa iliaca terdapat facies sacropelvica dengan tuberositas iliaca dan facies aurikularis. Crista iliaca mulai dari anterior pada spina iliaca anterior superior dan dibagi atas crista iliaca labium labium eksternum dan crista iliaca labium internum, serta linea intermedia yang memanjang ke atas dank e belakang. Terdapat juga di bagian lateralis lbium eksternum berupa tuberositas iliaca. Ujung crista iliaca berakhir pada spina iliaca superior posterior. Di bawah yang terakhir ini terdapat spina iliaca posterior inferior, sedangkan yang di bawah depan terdapat spina iliaca anterior inferior. Linea glutealis inferior, linea glutealis anterior, linea glutealis posteriorterletak pada facies glutealis. Selain itu terdapat juga beberapa saluran vaskuler diantaranya yang sesuai dengan fungsinya yaitu vasaemissaria
Tulang ischium dibagi atas corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii, yang bersama-samadengan ramus inferior ossis pubis membentuk batas bawah foramen obturatorium. Tonjolan ischium disebut spina ischiadica yang memisahkan incisura ischiadica mayor dengan incisura ischiadica minor. Incisura ischiadica mayor dibentuk sebagian oleh ischium dan sebagian lagi oleh ilium, serta mengarah ke permukaan bawah facies aurikularis. Tuber ischiadicum berkembang pada ramus ischium (Platzer, 2000)
Cabang utama dari arteri iliaca komunis muncul di dalam pelvis diantara sendi sacroiliaca dan incisura ischiadica mayor. Bersama cabang-cabang venanya, pembuluh-pembuluh itu mudah terkena cidera bila fraktur mengenai bagian posterior cincin pelvis. Saraf pada pleksus lumbalis dan sacralis juga juga menghadapi resiko bila tejadi cidera pelvis posterior
Kandung kemih terletak di belakang simphisis pubis. Trigonum dipertahankan pada posisinya dengan ligament lateralis kandung kemih, dan pada pria dengan prostat. Prostat terlerak diantara kandung kemih dan dasar pelvis. Prostat dipertahankan di bagian lateral dengan serabut medial dari levator ani, sedangkan di bagian anterior terikat erat pada tulang pubis oleh ligament puboprostat. Pada wanita trigonum juga melekat pada serviks dan forniks vagina anterior. Urethra dipertahankan oleh otot dasar pelvis serta ligament pubourethra. Akibatnya pada wanita urethra jauh lebih mobil dan cenderung lebih sulit terkena cidera
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia tempatnya turun dan berlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian trauma buli kurang lebih 2% dari seluruh trauma urogenitalia. Hampir sekitar 90% trauma buli akibat fraktur pelvis. Apabila terjadi kontusio kandung kemih bias dipasang kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada kandung kemih, dengan cara ini diharapkan dapat sembuh 7-10 hari. (Purnomo,2007)
Pada cidera pelvis yang berat urethra membranosa dapat rusak bila prostat dipaksa ke belakang sementara urethra tetap diam. Bila ligament puboprostat robek, prostat dan dasar kandung kemih dapat banyak mengalami dislokasi dari urethramembranosa
Kolon pelvis dengan mesenteriumnya merupakan struktur yang mobil sehingga tidak mudah cidera. Tetapi, rectum dan saluran anus lebih erat tertambat pada struktur urogenital dan otot dasar pelvis sehingga mudah terkena bila terjadi fraktur pelvis (Apley, 2000)
Pada perkembangannya selama masa kehamilan, terdapat tiga bakal
tulang, yaitu pada bulan ketiga dalam kandungan (ilium), pada bulan keempat
sampai kelima (ischium) dan pada bulan kelima sampai keenam (pubis). Ketiga
bakal tulang tersebut bersatu pada pusat acetabulum yaitu penyatuan berbentuk
“Y”. Di dalam acetabulum satu atau lebih masing-masing pusat osifikasi
berkembang antara usia 10 sampai 12 tahun. Sinostosis ketiga tulang terjadi
antara usia
5 dan 7 tahun tetapi di dalam acetabulum sendiri tidak sampai antara usia 15
dan 17 tahun. Pusat-pusat osifikasi epifisis terjadi pada spina pada usia 16
tahun,
b. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai
berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan
bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung,
otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang
berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
4). Membentuk sel-sel darah merah didalam
sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
5). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium,
fosfor.
2. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (syamsuhidayat, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak dan luasnya. terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar (Soedarman, 2000).
Pendapat lain fraktur adalah patah tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.( Brunner & Suddarth 2001).
3. Etiologi
1)
Kekerasan langsung
Kekerasan
langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
2)
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah
tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya
tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa
sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi
untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.
Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur
bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi (Soedarman, 2000 )
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.
Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui
seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat
pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak
melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)
Hair Line Fraktur (patah
retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi
lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks
dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya
dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya
melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis
patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis
patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi
karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan
karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.
Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis
patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis
patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
e.
Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced
(bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)
Dislokasi ad longitudinam cum
contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b)
Dislokasi ad axim (pergeseran
yang membentuk sudut).
c)
Dislokasi ad latus (pergeseran
dimana kedua fragmen saling menjauh).
f.
Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi
menjadi tiga bagian :
1)
1/3 proksimal
2)
1/3 medial
3)
1/3 distal
g.
Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang
berulang-ulang.
h.
Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena
proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit
atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal
atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
6. Manifestasi Klinik
a.
Deformitas
b.
Bengkak/edema
c.
Echimosis (Memar)
d.
Spasme otot
e.
Nyeri
f.
Kurang/hilang sensasi
g.
Krepitasi
h.
Pergerakan abnormal
i.
Rontgen abnormal
7. Test Diagnostik
a.
Pemeriksaan
Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang,
temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b.
Hitung
darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c.
Peningkatan jumlal sop adalah
respons stress normal setelah trauma.
d.
Kreatinin
: traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e.
Profil
koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple,
atau cederah hati.
8. Penatalaksanaan Medik
a.
Fraktur Terbuka
Merupakan
kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu
jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b.
Seluruh Fraktur
1)
Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2)
Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat
juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (Brunner & Suddart,
2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip
yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.Sebelum
reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar‑x harus dilakukan untuk mengetahui
apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar‑x digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh,
akan terlihat pembentukan kalus pada sinar‑x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi
Terbuka. Pada
fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut
menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3)
Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4)
Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur
dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang
dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi,
strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari‑hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga‑diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi
interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan
stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.
9. Proses
Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk
tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas
sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1)
Stadium Satu-Pembentukan
Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma
disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang
yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2)
Stadium Dua-Proliferasi
Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)
Stadium Tiga-Pembentukan
Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang
imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang
pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4)
Stadium
Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast
berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup
kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast
mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5)
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
10.
Komplikasi
1)
Komplikasi Awal
a.
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu
Lama
b.
Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
c.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur
berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d.
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
B. Konsep
Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan
system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi
5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
a.
Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa
yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality
of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region
: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius,
Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada
klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk
kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau
tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn
E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena
timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak
yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak
pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10)
Pola Penanggulangan
Stress
Pada
klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
11)
Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak
dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah
yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum:
baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik
dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema,
suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j)
Paru
(1)
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
(3)
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
(1)
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak
ada hernia.
(2)
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba.
(3)
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m)
Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)
Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat
dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide)
atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
(2)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan
suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal 3 – 5 “
(b)
Apabila ada pembengkakan,
apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)
Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)
Move (pergerakan
terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap
arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)
Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai
penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai
akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur
sendi.
Selain foto polos
x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang
saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan
jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin Fosfat meningkat pada
kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot seperti Kreatinin
Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme
kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada
intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan
konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang
rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini
didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
3.
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan
aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus).
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah,
emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).
d.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
f.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang).
g.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. (Doengoes,
2000)
4. Intervensi Keperawatan
a.
Nyeri
akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:
Klien mengataka nyeri berkurang atau
hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
3.
Lakukan dan awasi latihan
gerak pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan
kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.
Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital) |
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area
tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
b.
Risiko disfungsi neurovaskuler
perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan
trombus)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak
pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Dorong klien untuk secara
rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.
2.
Hindarkan
restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
3.
Pertahankan
letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen.
4.
Berikan
obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
5.
Pantau
kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit
distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
|
Meningkatkan
sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
Mencegah
stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.
Meningkatkan
drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan
aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
Mungkin
diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.
Mengevaluasi perkembangan masalah
klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.
|
c. Gangguan pertukaran gas b/d
perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler
(interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien
akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak
sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan
klien.
3. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan
trombosit
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan
adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan
sianosis sentral.
|
Meningkatkan
ventilasi alveolar dan perfusi.
Reposisi
meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
Mencegah
terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah
menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan
PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia,
peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering
berhubungan dengan emboli lemak.
Adanya
takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi
pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
|
d.
Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
Tujuan : Klien
dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi
yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan
melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas
rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan
klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif
pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan
trokanter/tangan sesuai indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri
(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai
keadaan klien.
6. Dorong/pertahankan asupan cairan
2000-3000 ml/hari.
7.
Berikan diet TKTP.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi
sesuai indikasi.
9.
Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi.
|
Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa
kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
Meningkatkan
sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan
gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan
diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah
komplikasi urinarius dan konstipasi.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk
proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur
terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan
: Klien
menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah
kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Pertahankan tempat tidur yang
nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku,
tumit).
2. Masase kulit terutama daerah penonjolan
tulang dan area distal bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah
perianal
4.
Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
|
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang
lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan
kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada
imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan
akibat kontaminasi fekal.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
f.
Risiko
infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan
demam
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Lakukan perawatan pen steril
dan perawatan luka sesuai protokol
2.
Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas insersi pen.
3.
Kolaborasi pemberian
antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium
(Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
|
Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat
penyembuhan luka.
Meminimalkan kontaminasi.
Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat
digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid
tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
Leukositosis biasanya terjadi pada proses
infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
Mengevaluasi
perkembangan masalah klien.
|
h.
Kurang pengetahuan
tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau
salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat
dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Kaji kesiapan klien mengikuti program
pembelajaran.
2. Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi
sesuai program terapi fisik.
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang
memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal
cedera)
4.
Persiapkan klien untuk
mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
|
Efektivitas
proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk
mengikuti program pembelajaran.
Meningkatkan
partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program
terapi fisik.
Meningkatkan
kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan
intervensi lebih lanjut.
Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk
mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
|
A. Evaluasi
o
Nyeri berkurang atau hilang
o
Tidak terjadi disfungsi
neurovaskuler perifer
o
Pertukaran gas adekuat
o
Tidak terjadi kerusakan
integritas kulit
o
Infeksi tidak terjadi
o
Meningkatnya
pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep
Medis Fraktur Pelvis
1. Pengertian
Fraktur panggul adalah fraktur salah satu bagian
dari trauma multipel yang dapat mengenai organ-organ lain dalam
panggul.(Hoppenfeld & Murthy, 2000).
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri
mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen,
dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak
+ 4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri
dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera
yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis
relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira
15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara
hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah
dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien
dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada
fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
2. Etiologi
1)
Trauma
langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.
2)
Trauma
tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
3)
Proses
penyakit: kanker dan riketsia.
4)
Compresion
force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur
kompresi tulang belakang.
5)
Muscle
(otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
2. Tanda
dan Gejala
Klien datang dalam keadaan anemia dan syok karena
perdarahan yang hebat. Selain itu, terdapat gangguan fungsi anggota gerak.
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi
berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
3. Komplikasi
3.1 Komplikasi Segera
1)
Trombosis vena ilio-femoral, komplikasi ini sering ditemukan dan sangat
berbahaya. Apabila ada keraguan sebaiknya berikan koagulan secara rutin untuk
profilaksis.
2)
Robekan kandung kemih, robekan dapat terjadi apabila ada gangguan
simfisis pubis atau tusukan dari tulang panggul yang tajam.
3)
Robekan uretra, robekan ini terjadi karena ada gangguan simfisis pubis pada daerah uretra
pars membranosa.
4)
Trauma rektum dan vagina.
5)
Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan perdarahan masif sampi syok.
6)
Trauma pada syaraf
:
a.
Lesi saraf
skiatik dapat terjadi karena pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila
dalam jangka waktu enam minggu tidak ada perbaikan, sebaiknya lakukan
eksplorasi.
b.
Lesi pleksus
lumbosakralis, biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikat
disertai pergeseran. Selain itu, dapat terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.
3.2 Komplikasi Lanjut
1)
Pembentukan tulang heterotrofik, biasanya terjadi setelah trauma jaringan lunak
yang hebat atau setelah operasi. Dalam keadaan ini klien dapat diberikan
indometasin untuk profilaksis.
2)
Nekrosis avaskular, dapat terjadi kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.
3)
Gangguan pergerakan sendi serta osteoatritis
sekunder, apabila terjadi fraktur
pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi
ini menopang berat badan, ketidaksesuaian sendi sehingga terjadi gangguan
pergerakan serta osteoatritis di kemudian hari.
4)
Skoliosis kompensatoar.
4 . Penatalaksanaan
4.1 Rekognisi
menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit. Misal riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien, serta menentukan kemungkinan tulang yang patah, dan krepitus.
4.2 Reduksi
Reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi
terbagi menjadi dua yaitu:
1)
Reduksi
tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau gips.
2)
Reduksi
terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui pembedahan,
biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung
kedalam medula tulang.
4.3 Retensi
menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
4.4 Rehabilitasi:
Langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan
fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program pengobatan hasilnya
kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck).
B. Konsep
Keperawatan Fraktur Pelvis
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan
system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi
5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
1.1 Pengumpulan Data
1)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
·
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
· Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
· Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
· Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
· Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3)
Riwayat Penyakit
Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 2000).
4)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5)
Riwayat Penyakit
Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2000).
6)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
7)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,2000).
8)
Pola Nutrisi dan
Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar
sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
9)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
10) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 2000).
12) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 2000).
13) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
14) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
15) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
16) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1)
Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Pemeriksaan
Fisik Per Sistem
a. B1
(Breathing), karena adanya perubahan pada sistem pernafasan yang disertai
banyaknya perdarahan dan syok.
·
Inspeksi :
klien batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu pernafasan,
peningkatan frekuensi pernafasan, retraksi interkostal, serta penembangan paru
tidak simetris. Ketidakseimbangan ini menunjukkan adanya atelaktasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumothoraks.
·
Palpasi : penurunan fremitus dibandingkan dengan sisi
yang lainnya apabila terjadi trauma pada rongga dada.
·
Perkusi :
didapatkan suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada thorak dan
hemothoraks.
·
Auskultasi :
suara nafas tambahan seperti stridor dan ronki pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk menurun hal ini terjadi pada klien cedera
panggul yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
b.
B2 (Blood), didapatkan
renjatan (syok hipovolemik atau syok hemoragik) yang sering terjadi pada pasien
dengan cedera panggul dari sedang hingga berat. Tekanan darah menurun,
bradikardi tanda perubahan perfusi jaringan otak, berdebar-debar, pusing saat
melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin
dalam darah. Hal ini akan merangsang hormon anti diuretik yang berdampak pada
kompensasi tubuh untuk melakukan retensi
atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektroit sehingga terjadi gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.
c.
B3 (Brain)
·
Tingkat
kesadaran klien cedera panggul yang tidak berat adalah compos mentis.
·
Pemeriksaan
fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
·
Pemeriksaan
saraf kranial,
-
Saraf I tidak
ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
-
Saraf II
Ketajaman penglihatan normal
-
Saraf III,
IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata
-
Saraf V Tidak
ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada kelainan.
-
Saraf VII
Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
-
Saraf VIII
tidak ditemukan tuli konduktif tuli persepsi.
-
Saraf IX dan
X kemampuan menelan baik.
-
Saraf XI
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
-
Saraf XII
indera pengecapan normal.
·
Pemeriksaan
reflek, Reflek Archilles menghilang, reflek patela menurun.
·
Pemeriksaan
sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada kedua bokong, perineum, dan
anus.
d.
B4 (Bladder),
kandung kemih mengalami hematuria, nyeri berkemih, deformitas pada pubis,
sampai alat kelamin sehingga mengganggu miksi. Pada hal ini tidak boleh
dipasang kateter. Karena merupakan kontraindikasi apabila terjadi ruptur
uretra.
e.
B5 (Bowel),
sering dijumpai ileus paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan menghilangnya
bising usus, kembung dan tidak adanya defekasi. Pemenuhan nutrisi berkurang
karena mual.
f.
B6 (Bone ),
paralisis motorik biasanya terjadi jika juga mengompresi sakrum
g.
Look pada
inspeksi perineum, biasanya didapatkan bengkak, perdarahan dan deformitas pada panggul.
h.
Feel kaji
adanya derajad ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada simfisis
pubis dan anus.
i.
Move
disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah.
3) Diagnosa
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.
Ketidakseimbangan
nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c.
Resiko tinggi
trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d.
Hambatan
mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e.
Gangguan
eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f.
Gangguan
eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g.
Defisit
perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h.
Resiko tinggi
infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i.
Resiko
kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi
perifer.
j.
Resiko tinggi
ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual, prognosis kondisi
sakit, program pengobatan, tirah baring lama.
k.
Ansietas b/d
krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan status
kesehatan.
4) Intervensi
dan implementasi
a.
Nyeri
akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,
istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
3.
Lakukan dan awasi latihan
gerak pasif/aktif.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan
kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.
Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
|
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area
tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
b.
Hambatan
mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik
sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program
latihan, tidak mengalami kontriktur sendi, kekuatan otot bertambah, klien
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya
peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
2.
Ubah posisi
klien setiap 2jam.
3.
Ajarkan
klien untuk melakukan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit.
4. Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit.
|
Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Mengurangi resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah tertekan.
Gerakan aktif memberikan massa, tonus, kekuatan otot, serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernafasan.
Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya apabila tidak
dilatih.
|
A. Konsep
Medis Fraktur Femur
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner
& Suddarth, 2001). Femur adalah tulang terpanjang dan kuat pada tubuh
manusia (Watson,2002). Fraktur femur adalah fraktur yang terjadi pada tulang
femur.
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat
diantaranya: kolum femoris, trokhanter, batang femur, suprakondiler, kondiler,
kaput.
2. Anatomi
fisiologi
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan
acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan
kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk
acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot.
Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip.
Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler
posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah
tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
3. Klasifikasi
Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :
3.1 Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi,
panggul
dan Melalui kepala femur (capital
fraktur) Hanya di
bawah kepala femur dan Melalui leher dari femur.
3.2 Fraktur Ekstrakapsuler terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter. Atau terjadi di bagian
distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci
di bawah trokhanter kecil.
4. Patofisiologi
Penyebab fraktur adalah
trauma, fraktur
patologis merupakan fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang
disebabkan oleh suatu proses., yaitu Osteoporosis
Imperfekta, Osteoporosis, dan Penyakit metabolic. Trauma dibagi menjadi
dua, yaitu :
1)
Trauma langsung, yaitu benturan
pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah
trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
2)
Trauma tak langsung, yaitu
titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di
kamar mandi pada orangtua.
5. Tanda
dan Gejala
1)
Nyeri hebat di tempat fraktur
2)
Tak mampu menggerakkan
ekstremitas bawah
3)
Rotasi luar dari kaki lebih
pendek
4)
Diikuti tanda gejala fraktur
secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur
terbuka, deformitas.
6. Pemeriksaan Laboratorium/Diagnostik/Penunjang
1)
Pemeriksaan rontgen:
Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2)
Scan
tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan
kerusakan jaringan lunak
3)
Pemeriksaan
darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan
Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
4)
Kreatinin
: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
7. Komplikasi
1)
Komplikasi Awal
a.
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu
Lama
a.
Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur
berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
8. Penatalaksanaan
1)
Terapi
konservatif, traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan
terapi definitif.
2)
Terapi
operatif, pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur proksimal dan distal
femur, mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis lain.
B. Konsep
Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan
system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi
5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini.
Tahap ini terbagi atas:
1.2 Pengumpulan Data
17) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
18) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
·
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
·
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
·
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
·
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.nyeri yang
dirasakan klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran 0-4.
·
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
19) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 2000). Serta pertolongan apa
saja yang telah didapatkan dan apakah telah berobat di dukun pijat.
20) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
21) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2000).
22) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 2000).
23) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,2000).
24) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa
membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
25) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna,
bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos. Marilynn E, 2002).
26) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2000).
27) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap (Ignatavicius, Donna D, 2000).
28) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image) (Ignatavicius, Donna D, 2000).
29) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2000).
30) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
31) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
32) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien
fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
1.2 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
5)
Gambaran Umum
Perlu menyebutkan keadaan umum baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a.
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk.
6) Pemeriksaan
Fisik Per Sistem
a.
B1
(Breathing), sistem pernafasan tidak mengalami kelainan pada palpasi toraks
didapatkan taktil fremitus seimbang antara kanan dan kiri. Pada auskultasi
tidak ada suara nafas tambahan.
b.
B2 (Blood), tidak
ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat, iktus tidak teraba, auskultasi suara
S1 dan S2 tunggal tidak ada murmur.
c.
B3 (Brain)
·
Tingkat kesadaran
compos mentis
·
Pemeriksaan
fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah laku, gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
·
Pemeriksaan
saraf kranial,
-
Saraf I tidak
ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.
-
Saraf II
Ketajaman penglihatan normal
-
Saraf III,
IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
-
Saraf V Tidak
ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada kelainan.
-
Saraf VII
Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
-
Saraf VIII
tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
-
Saraf IX dan
X kemampuan menelan baik.
-
Saraf XI
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
-
Saraf XII
indera pengecapan normal.
·
Pemeriksaan
reflek, tidak didapatkan reflek patologis.
·
Pemeriksaan
sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada daya raba terutama pada bagian
distal fraktur. Nyeri pada daerah yang fraktur.
d.
B4 (Bladder),
kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urin serta
berat jenis.
e.
B5 (Bowel), inspeksi
pada abdomen bentuk datar, simetris, tidak ada hernia, palpasi turgor
baik,tidak ada defans muskuler, dan hepar tidak teraba. Perkusi suara timpani,
ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristalti usus normal 20 kali / menit, tidak ada kesulitan BAB.
f.
B6 (Bone ), terjadi
gangguan baik secara lokal, fungsi motorik, maupun peredaran darah.
g.
Look pada
sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar luka meningkat, bengkak,
edema, dan nyeri tekan
h.
Feel adanya
nyeri tekan, dan krepitasi pada daerah paha.
i.
Move
disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah.
7) Diagnosa
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b.
Ketidakseimbangan
nutrisi b/d mual muntah dan peningkatan metabolisme.
c.
Resiko tinggi
trauma b/d penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas fisik.
d.
Hambatan
mobilitas fisik b/d kerusakan neurovaskuler.
e.
Gangguan
eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih dan ureter
f.
Gangguan
eliminasi alvi b/d kerusakan anatomis rektum.
g.
Defisit
perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas bawah.
h.
Resiko tinggi
infeksi b/d adanya port de entree luka terbuka pada panggul.
i.
Resiko
kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan tidak adekuatnya sirkulasi
perifer.
j.
Resiko tinggi
ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual, prognosis kondisi
sakit, program pengobatan, tirah baring lama.
k.
Ansietas b/d
krisis, situasional, ancaman terhadap konsep diri dan perubahan status
kesehatan.
8) Intervensi
dan implementasi
a.
Nyeri
akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,
istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas
yang terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan
gerak pasif/aktif.
4. Lakukan
tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.Ajarkan penggunaan teknik
manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas
dipersional)
6.Lakukan
kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
7. Kolaborasi
pemberian analgetik sesuai indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
|
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area
tekanan lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
b.
Hambatan
mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik
sesuai kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program
latihan, tidak mengalami kontriktur sendi, kekuatan otot bertambah, klien
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya
peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
2.
Ubah posisi
klien setiap 2jam.
3.
Ajarkan
klien untuk melakukan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit.
4. Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit.
|
Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
Mengurangi resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah tertekan.
Gerakan aktif memberikan massa, tonus, kekuatan otot, serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernafasan.
Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya apabila tidak
dilatih.
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau setiap retak atau patah pada tulang
yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R, 2001). Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat diantaranya: kolum
femoris, trokhanter, batang femur, suprakondiler, kondiler, kaput. (Watson,2002). Fraktur
panggul adalah fraktur salah satu bagian dari trauma multipel yang dapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul.(Hoppenfeld & Murthy, 2000).
B. Saran
Berdasarkan Kesimpulan
diatas maka disarankan:
1. Bagi
mahasiswa
Bagi mahasiswa untuk lebih menambah wawasan dan pengetahuan
agar dapat melahirkan inovasi-inovasi terbaru dalam askep kegawatdaruratan pada
klien dengan fraktur femur dan pelvis.
2. Bagi dosen
Bagi dosen untuk
membimbing dan mengarahkan serta memfasilitasi mahasiswa untuk menambah wawasan
dan pengetahuan dalam ilmu asuhan keperawatan kegawatdaruratan khususnya askep
kegawatdaruratan fraktur femur dan pelvis.
DAFTAR PUSTAKA
Musliha, (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta. Nuha Medika.
Purwadianto, Agus, dkk. (2000). Kedaruratan Medik. Jakarta Barat.
Binarupa Aksara.
Thomas, Mark A.(2011). Terapi dan rehabilitasi Fraktur.
Jakarta. EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta. EGC.
Suratun,dkk.( 2008 ). Klien Gangguan Sistem Muskuluskeletal.
Jakarta. EGC.
King, Maurice, dkk.(2001). Bedah Primer Trauma. Jakarta. EGC
Riyawan.com | Kumpulan Artikel Keperawatan Dan Farmasi
Wow, sangat membantu
BalasHapus